HIMAHI UNIFA

HIMAHI UNIFA

Saturday, 19 January 2019

HI News : Proliferasi Nuklir

PROLIFERASI NUKLIR

Proliferasi Nuklir Akibat Terjadinya Security Dilemma

Proliferasi nuklir adalah penyebaran senjata dan system senjata ke negara-negara yang sebelumnya tidak memiliki senjata atau system senjata tersebut (proliferasi horizontal) atau akumulasi senjata dan system senjata yang semakin besar di suatu negara (proliferasi vertical) factor-faktor menyebabkan terjadinya proliferasi nuklir dantaranya adanya security dilemma karena negara tentangga atau negara kawasan sudah memiliki kemampuan atau sedang mengembangkan senjata niklir,contohnya persaingan senjata nuklir antara india dan Pakistan.selain itu,karena kepemilikan nuklir dapat meningkatkan pengaruh negara tersebut dalam politik global seperti korea utara.

Motivasi dan kepemilikan senjata nuklir oleh negara-negara yang ada di dunia ini sudah berlangsung cukup lama. Jauh sebelum perang dingin berakhir beberapa negara berupaya untuk mengembangkan program nuklir dan memiliki senjata nuklir. Terdapat tiga buah alasan penting yang memotivasi mereka untuk memiliki senjata pemusnah masal tersebut. Ketiga alasan tersebut adalah alasan strategis, politik dan prestis. Alasan strategis karena senjata nuklir memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka mengamankan negara mereka dari serangan musuh dari luar, hal tersebut sesuai dengan konsep deterrence yaitu sebuah upaya untuk mencegah ancaman militer dari pihak lain agar tidak melakukan tindakan agresi atau serangan militer dengan istilah lain war prevention dan hal tersebut lebih berfokus pada pshycological war daripada bersifat fisik. Sedangkan untuk alasan politik dan prestis negara yang memiliki senjata nuklir secara sederhanannya berupaya untuk meningkatkan negaranya dalam percaturan politik internasional (Williams D. Paul, 2008)

Perjanjian Non-proliferasi adalah suatu perjanjian yang ditandatangani pada 1 Juli 1968 yang membatasi kepeemilikan senjata nuklir. Perjanjian ini pertama kali di usulkan oleh Irlandia dan pertam kali ditandatangani oleh finlandia. Howlett mengemukakan bahwa selama kurun waktu setelah perang dunia kedua, pola kepemilikan (acquisition) dibentuk oleh 5 anggota NWS yang dinyatakan menjadi pola yang paling mungkin diikuti oleh suatu negara yang mengembangbiakkannya di masa depan.

Isu proliferasi senjata nuklir merupakan salah satu dari isu yang sangat menonjol dalam globhalisasi politik dunia. Pengembangan dan persebaran senjata-senjata nuklir (baik secara kuantitas maupun kualitas) dan kemampuannya sebagai alat penghancur massal, baik untuk memusnahkan seluruh kota dan negara, maupun seluruh penduduk bumi, membuat isu proliferasi senjata nuklir menjadi fokus perhatian dalam agenda keamanan global. Hanya ada5 negara (Cina, Prancis, Rusia, Inggris, AS) yang diakui oleh Perjanjian Non-ProliferasiSenajat Nuklir (NPT) sebagai pemilik senjata-senjata nuklir.  Untuk menghindari proliferasi senjata nuklir yang semakin besar,dunia internasional membuat sebuah perjanjian yaitu Treaty(NPT) yang ditanda tangani pada 1Juli 1968 dan pada awalnya sebanyak 187 negara berdaulat mengikuti perjanjian ini. NPT menghasilkan tiga pilar utama yaitu :
·         Pertama Non-proliferasi,hasil perjanjiannya ialah hanya memperbolehkan lima negara yang mempunyai senjata nuklir yaitu perancis,Republik rakyat tiongkok,Uni soviet,Britania raya dan Amerika serikat dikarenakan kelima negara tersebut sudah memiliki senjata nuklir saat perjanjian di mulai dan kelima negara terebut merupakan negara anggota tetap dewan keamanan PBB.
·         Kedua, pelucutan,dalam pilar ini negara-negara NWS menyatakan untuk tidak akan membujuk negara-negara non-NWS untuk mendapatkan senjata nuklir dan menerangkan bahwa negara-negara NWS berusaha mencapai rencana untuk mengurangi dan membekukan simpanan mereka.
·         Ketiga, hak untuk menggunakan nuklir untuk kepentingan damai,pada pilar ketiga ini memberikan negara-negara non-NWS untuk memiliki bahan memiliki bahan bakar uranium namun dalam kondisi-kondisi tertentu yang membuat tidak mungkin mengembangkan senjata niklir,contohnya dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir.

Dalam melihat apakah lebih banyak ataukah lebih sedikit kepemilikan senjata nuklir,ada dua sudut pandang yang agak berbeda. Sudut pandang yang pertama berangkat daritradisi pemikiran neorealis yang dikembangkan Kenneth N. Waltz. Disini, Waltz melontarkan suatu tesis provokatif dengan memngemukakan, “lebih banyak mungkin lebih baik”. Tesistersebut dikemukakan pada awal tahun 1980an, analisis ini menekankan dampak dari sebab-sebab struktural mengenai kepemilikan senjata nuklir. Unit atau negara, dalam system internasional tidak mempunyai option atau pilihan kecuali berupaya untuk melakukan tindakan-tindakan untuk mempertahankan wilayah mereka. Hasilnya adalah bahwa negaraakan berupaya untuk memiliki senjata nuklir untuk memperbesar keamanan mereka danuntuk menangkal musuh-musuh potensial. Dengan demikian, Waltz menyarankan bahwalebih banyak senjata nuklir akan lebih baik karena menghalangi negara lain untuk menggunakan senjata yang sama.

HI News : Unifikasi Korea Utara dan Korea Selatan

UNIFIKASI KOREA UTARA DAN KOREA SELATAN

Perang Korea yang dimulai pada 25 Juni 1950-27 Juli 1953, ketika konflik antara rezim militer Korea Utara dengan Korea Selatan mencuat, membuat semenanjung Korea menjadi medan pertempuran hingga tiga tahun lamanya. Perseteruan ini juga dimotori oleh dua kekuatan dunia yang pada saat itu selalu berada dibelakang Negara-negara yang sedang bermasalah, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang tentu saja bertolak belakang secara ideology. Upaya-upaya dalam meredam permusuhan Korea selatan dan utara ini selalu tak pernah berhasil untuk diterapkan. Sebelumnya sudah sejak lama kedua negara serumpun disana terlibat konflik terbuka. Kedua negara tak hanya dipisahkan tembok tetapi juga tirai tebal ideology. 

Perang Korea disebabkan oleh adanya persaingan ideology antara AS dan Uni Soviet, pembagian wilayah menjadi dua bagian, dan tidak adanya kesepakatan antara AS dan Uni soviet tentang pembentukan Korea utara. Perang Korea berlangsung antara tanggal 25 Juni 1950-27 Juli 1953. Perang tersebut bukan sekedar perang antara Korea utara dan selatan, dibalik Korea utara ada Uni Soviet dan RRC, sedangkan dibalik Korea selatan ada AS dan sekutu-sekutu PBB-nya. Korea utara sempat menguasai Seoul dan wilayah-wilayah Korea selatan, namun Korea selatan sempat bangkit dan unggul dan pada akhirnya Korea utara berhasil memukul mundur pasukan PBB ke selatan. Namun pada perang ini tidak ada pihak yang menang atau kalah, kedua negara sama-sama mengalami kerugian dan menewaskan banyak korban. 

Pada hari Jumat, 27 April 2018, Presiden Korea Selatan, Moon Jae In dan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un melakukan pertemuan di wilayah Panmunjom dan merupakan pertemuan pertama kalinya dalam sejarah, yang juga merupakan pertama kalinya seorang pemimpin Korea Utara melewati batas wilayah dan memasuki area Korea Selatan selama 65 tahun setelah gencatan senjata pada tahun 1953. Pertemuan tersebut tentu saja membawa harapan yang besar bagi berdamainya Korea Selatan dan Korea Utara, mengingat perang dingin yang sudah lama dialami kedua negara tersebut. Konferensi tingkat tinggi (KKT) yang dilaksanakan di Panmunjom ini merupakan pertemuan ketiga setelah KTT dilaksanakan pada 2000 dan 2007, dan untuk kali pertama digelar di wilayah Korsel. Setelah berdiskusi sejak pagi, Presiden Moon Jae In dan Kim Jong Un bersama-sama mendatangani sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa keduanya setuju untuk mengakhiri perang dingin antar-Korea akhir tahun ini.
 Pada tanggal 27 April 2018, Presiden Moon Jae In dari Republik Korea dan Ketua Kim Jong Un dari Komisi Urusan Negara Republik Demokratik Rakyat Korea mengadakan pertemuan puncak antar-Korea di Gedung Perdamaian di Panmunjom dengan keinginan untuk perdamaian , kemakmuran, dan reunifikasi semenanjung Korea selama masa perubahan historis ini. Kedua delegasi telah menjelaskan kepada dunia dan 80 juta orang bahwa era baru perdamaian telah dimulai dan tidak akan ada lagi perang di semenanjung Korea. Kedua delegasi ini dengan ini membuat pernyataan berikut, dengan tekad untuk mengakhiri pembagian dan persaingan jangka panjang (Korea Utara dan Selatan) serta untuk maju ke era baru rekonsiliasi dan perdamaian di antara rakyat kita dan reformasi dan pengembangan yang tegas, hubungan antara Korea.

Hal ini menjadi salah satu fokus dalam dunia internasional karena dengan berdamainya kedua negara tersebut maka dapat mengurangi ancaman nuklir dari Korea Utara yang dapat mengancam kestabilan kawasan seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan bahkan dunia. Namun kemungkinan unifikasi korea selatan dan utara seperti masih jauh diambang mata mengingat ada banyak sekali perbedaan yang mencolok dari kedua negara yang dahulu merupakan satu kesatuan akan tetapi pecah menjadi korea selaran dan korea utara pada tahun 1953.

Friday, 18 January 2019

HI News : WEF Prihatin Dengan Mundurnya Kerjasama Internasional

WEF Prihatin Dengan Mundurnya Kerjasama Internasional
























Laporan Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyatakan, tidak pernah sebelumnya ada begitu banyak risiko serius. WEF khawatir, ketegangan geopolitik mengurangi kemampuan komunitas internasional menghadapi peristiwa bencana.
Dalam Laporan Resiko Global terbaru dari World Economic Forum (WEF) memperingatkan bahwa memburuknya hubungan internasional bisa menghambat tindakan bersama di sejumlah besar tantangan serius yang dihadapi umat manusia. Laporan itu dirilis menjelang pertemuan tahunan WEF di Davos, Swiss. Laporan itu adalah hasil survei yang didasarkan pada persepsi risiko dari sekitar 1000 orang ahli dan pembuat keputusan. Perang dagang yang dilancarkan AS, terutama terhadap Cina, menjadi perhatian utama.

WEF mengatakan, situasi perdagangan global memburuk dengan cepat pada tahun 2018. Pertumbuhan ekonomi tahun ini akan terhambat karena ketegangan geo-ekonomi. 88 persen responden yang disurvei memperkirakan akan terjadi erosi berkelanjutan dari aturan dan perjanjian perdagangan multilateral. Mayoritas responden (85 persen) juga menyatakan khawatir, peningkatan resiko yang berasal dari konfrontasi politik antara kekuatan utama dunia akan memperuncing perbedaan pandangan tentang nilai-nilai fundamental.

"Dengan perdagangan global dan pertumbuhan ekonomi yang beresiko pada 2019, ada kebutuhan yang makin mendesak untuk memperbarui arsitektur kerja sama internasional," kata Presiden WEF Borge Brende. "Apa yang kita butuhkan sekarang adalah tindakan bersama untuk mempertahankan pertumbuhan dan mengatasi ancaman-ancaman besar yang dihadapi dunia hari ini." Dari ancaman kejahatan cyber sampai perubahan iklim

Laporan Resiko Global WEF juga memberikan pandangan tentang resiko ancaman dan infrastruktur keamanan data di dunia maya. Pendanaan infrastruktur yang terus-menerus kritis di seluruh dunia menghambat kemajuan ekonomi, membuat bisnis dan masyarakat lebih rentan terhadap serangan siber," kata John Drzik Marsh, lembaga mitra WEF. Tapi belum ada perkiraan konkret mengenai potensi ancaman itu. Ancaman yang lebih konkret disampaikan mengenai konsekuensi dari perubahan iklim. Ada lima ancaman kategori tinggi yang disebutkan: hilangnya keanekaragaman hayati, peristiwa cuaca ekstrem, kegagalan mitigasi perubahan iklim, bencana buatan manusia dan bencana alam.

"Tidak mengherankan bahwa pada 2019 resiko lingkungan sekali lagi mendominasi daftar kekhawatiran utama," kata Alison Martin, Direktur Bidang Resiko di Zurich Insurance Group.
"Untuk menanggapi perubahan iklim secara efektif dibutuhkan peningkatan infrastruktur yang signifikan untuk beradaptasi dengan kondisi baru ini dan transisi ke ekonomi rendah karbon," tambahnya.

Para peneliti memperkirakan, investasi infrastruktur secara global akan mencapai 18 triliun Dolar AS pada tahun 2040, sedangkan kebutuhan diproyeksikan sebesar 97 triliun Dolar AS. Masalah dalam pembangunan perkotaan diprediksi akan meningkat, karena kenaikan permukaan laut menjadi ancaman bagi ekstraksi air tanah yang bersih, sementara lebih banyak infrastruktur dibutuhkan, misalnya untuk menghadapi amukan badai dan topan hebat yang mengancam keselamatan penduduk. Laporan Resiko Global 2019 juga memperkirakan, banyak orang akan mengalami penurunan kesejahteraan psikologis dan emosional sebagai akibat dari dunia yang makin cepat berubah. Hal ini berkaitan dengan transformasi sosial, teknologi, dan transformasi besar di bidang kerja. Tekanan psikologis yang dialami oleh banyak orang di berbagai bagian dunia berhubungan dengan "perasaan kurangnya kontrol dalam menghadapi ketidakpastian," kata laporan WEF.